PPJAKARTA – Presiden Joko Widodo meluncurkan kebijakan tarif Pajak Penghasilan (PPh) final bagi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) sebesar 0,5%, dari ketentuan sebelumnya sebesar 1%.

Revisi tarif ini merupakan wujud keberpihakan pemerintah terhadap UMKM agar pelaku UMKM dapat naik kelas menjadi usaha besar. Sebagai konsekuensi dari penurunan tarif ini, penerimaan negara berpotensi terpangkas Rp 2,5 triliun dalam jangka pendek, namun akan positif dalam jangka menengah-panjang.

Aturan penurunan tarif PPh final bagi para pelaku UMKM itu ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu. Aturan tersebut berlaku secara efektif mulai 1 Juli 2018. PP No 23 Tahun 2018 ini menggantikan peraturan sebelumnya, yang dituangkan dalam PP Nomor 46 Tahun 2013, yang mengatur besaran tarif PPh final UMKM sebesar 1% dari omzet.

Presiden menjelaskan, saat berkunjung ke daerah dan menemui masyarakat, sering dirinya menerima keluhan seputar beban pajak penghasilan final yang dirasa masih memberatkan para pelaku UMKM.

Untuk itu, dirinya meminta kepada jajaran terkait untuk mencari adanya kemungkinan untuk meringankan beban para pelaku usaha. “Saya perintahkan kepada Menteri Keuangan dan Dirjen Pajak untuk coba hitung lagi, sebetulnya total penerimaan pajak dari usaha kecil, mikro, dan menengah ini berapa? Kemudian kita punya kemampuan berapa untuk memberikan keringanan kepada mereka? Dihitung-hitung ketemunya 0,5%,” kata Presiden di Jatim Expo, Surabaya, Jumat (22/6)

Penurunan tarif tersebut, selain karena adanya keluhan dari masyarakat, dimaksudkan agar para pelaku usaha kecil dapat mengembangkan usahanya sehingga mampu berkembang menjadi usaha yang lebih besar.

“Agar usaha mikro ini bisa tumbuh melompat menjadi usaha kecil. Usaha kecil juga bisa tumbuh melompat menjadi usaha menengah. Usaha menengah juga bisa melompat lagi menjadi usaha besar. Pemerintah menginginkan seperti itu,” tandasnya.

Penurunan tarif PPh bagi UMKM ini disepakati setelah melalui tiga kali rapat pembahasan antara Presiden bersama dengan jajaran terkait. Hal yang sama juga diupayakan bagi penyaluran kredit usaha rakyat (KUR) dengan bunga lebih murah.

Ia menjelaskan, dahulu, bunga yang dibebankan bagi para penerima KUR sebesar 22%. Beban tersebut kini diturunkan hingga sebesar 9%. Di tahun ini, Presiden mengupayakan lagi agar angka tersebut kembali dapat diturunkan menjadi 7%.

“Ini ada subsidi dari pemerintah. Dulu (bunga) KUR itu 22%, sekarang hanya 7%. Tolong ini dimanfaatkan,” kata Presiden di hadapan ribuan pelaku UMKM yang hadir.

Turut mendampingi Presiden dalam acara tersebut adalah Ibu Negara Iriana Joko Widodo, Menteri Koordinator bidang Perekonomian Darmin Nasution, Sekretaris Kabinet Pramono Anung, Menteri Koperasi dan UKM Anak Agung Gede Ngurah Puspayoga, Menteri PU dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko, Kepala Badan Ekonomi Kreatif Triawan Munaf, Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo, Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Robert Pakpahan, dan Gubernur Jawa Timur Soekarwo.

Presiden Joko Widodo, yang akrab disapa Jokowi, juga menuturkan bahwa dulu ia juga merintis usahanya dari kelas mikro.

“Saya dulu juga mengawali usaha dari kelas mikro. Sehingga, saya bisa rasakan keberatan para pelaku UMKM, yang mendesak agar PPh final diturunkan dari sebelumnya 1% menjadi 0,5%,” katanya saat meluncurkan kebijakan pajak yang berpihak pada usaha rakyat tersebut di Surabaya, Jawa Timur, kemarin.

Itulah sebabnya, ia optimistis pemberlakuan kebijakan yang menurunkan PPh final UMKM dari 1% menjadi 0,5% bisa membantu pelaku UMKM naik kelas.

“Penurunan PPh final dari 1% menjadi 0,5% juga merupakan upaya pemerintah melibatkan pelaku UMKM untuk memperkuat ekonomi formal, dan memperluas kesempatan untuk memperoleh akses terhadap dukungan finansial,” imbuh Presiden.

Selain itu, Jokowi menandaskan, penurunan PPh final dari 1% menjadi 0,5%, memberi tenggang waktu bagi pelaku UMKM untuk mempersiapkan diri, sebelum menjadi wajib pajak yang ke depan akan melaksanakan hak dan kewajiban pajak secara umum, sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan

Hal lain dalam PP No 23 Tahun 2018 yang penting, kata Yustinus, adalah sifatnya opsional, karena memberi kesempatan wajib pajak memilih skema final atau skema normal, sesuai kondisi yang sebenarnya. Hal ini akan memenuhi rasa keadilan.

Grace period yang diberikan antara 3-7 tahun untuk memanfaatkan skema ini juga dinilai cukup mengedukasi wajib pajak agar mampu menjalankan kewajiban perpajakan dengan baik, sekaligus menutup celah untuk melakukan penghindaran pajak melalui skenario menjadi pelaku UMKM ‘abadi’ dengan memecah usaha.

PP juga memberi ruang pelunasan pajak dengan pemotongan pihak lain, agar memudahkan secara administrasi dan mengantisipasi perkembangan ekonomi seperti di sektor perdagangan elektronik.

Dia menegaskan, agar kebijakan pajak UMKM ini sukses, pemerintah juga harus melakukan kampanye dan sosialisasi secara masif dan terkoordinasi dengan baik, antara lain dengan melibatkan pemerintah daerah, otoritas moneter, asosiasi usaha, lembaga keuangan, perguruan tinggi, dan tokoh masyarakat.

Kebijakan ini harus dijadikan instrumen untuk membangun saling percaya, agar bisa meningkatkan kesadaran dan kepatuhan pajak di masyarakat. Tak berhenti di sini, fasilitas berupa sistem akuntansi UMKM yang lebih sederhana dan ramah, aplikasi pembukuan, sistem pembayaran dan pelaporan pajak, serta prasarana teknologi informasi yang mumpuni juga patut mendapat perhatian lebih besar.

“Perlu juga pemerintah – melalui Kementerian Keuangan serta Kementerian Koperasi dan UKM – berkoordinasi dengan Bank Indonesia, OJK, BPS, dan kementerian/lembaga lain agar kebijakan pemerintah terhadap pelaku UMKM dikemas dalam paradigma integrated and comprehensive.

Ini terutama mengenai definisi tunggal tentang UMKM, sistem akuntansi keuangan, dan akses pada permodalan. Hal ini penting mengingat lokus kewenangan atas UMKM sebagian besar sudah didelegasikan ke pemerintah daerah. Usulan konkretnya, kepatuhan pajak harus menjadi salah satu komponen prasyarat dan penjamin bagi pelaku UMKM untuk mendapatkan fasilitas yang lebih baik,” paparnya

Selain itu, pemerintah perlu meningkatkan pengawasan pemenuhan kewajiban perpajakan sektor UMKM, dengan didahului penyuluhan, sosialisasi, edukasi, dan bimbingan, lalu penegakan hukum yang selektif dan terukur yang menciptakan dampak kepatuhan. Sasaran penegakan hukum adalah wajib pajak yang berlindung di balik kebijakan pajak UMKM demi kepentingan pribadi dan mengelabuhi negara.

“Khusus untuk sektor e-commerce, ini adalah momentum yang tepat untuk segera menerbitkan aturan pajak e-commerce yang jelas dan adil. Selain itu, meski kebijakan pajak UMKM ini lebih baik karena lebih jelas, lebih pasti, memiliki visi, dan adil, juga tetap harus diperlakukan transisional dan diletakkan dalam kerangka reformasi perpajakan yang lebih luas,” tandasnya.

Ke depan, perbaikan administrasi perpajakan juga harus menjamin kemudahan pemenuhan kewajiban perpajakan, pemilahan wajib pajak berdasarkan tingkat kepatuhan dan risiko, serta ada mekanisme reward and penalty yang lebih adil dan transparan. Hal ini akan mendorong semakin banyak orang tergerak hatinya untuk berkontribusi membiayai pembangunan melalui pajak.

“Kebijakan pajak UMKM setidaknya menegaskan bahwa pemerintah peka, tidak agresif dan zalim terhadap masyarakat wajib pajak sebagaimana sering dituduhkan. Ini kan sebaliknya, berbaik hati dan memberikan perhatian pada pelaku UMKM, setelah memberikan tax holiday bagi perusahaan menengah atas di banyak sektor. Semoga kebijakan ini menjadi awal yang baik bagi bergulirnya reformasi pajak yang konsisten, demi mewujudkan sistem perpajakan yang berkeadilan dan berkepastian hukum. Kita perlu terus mengawal agar reformasi perpajakan konsisten dijalankan sampai tuntas,” ujar Yustinus.

Hubungi Whatsapp Kami